Opening

Selamat Datang di web Orang Jombang

Selamat Membaca Berbagai Artikel Di Bawah Ini

Rabu, 20 Januari 2010

TKI yang sedih

Permasalahan para TKI ini bukan hanya semata-mata dari TKI itu sendiri, tetapi juga banyak pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Untuk itu diperlukan aturan yang jelas, baik dari negara atau pun aturan umum yang harus dipatuhi secara bersama. Aturan-aturan itu juga harus didukung oleh para penegak hukum, sehingga tercermin contoh yang baik bagi masyarakat. Hal-hal tersebut diperlukan supaya tidak ada lagi kasus-kasus penganiayaan, pelecehan, dan sebagainya terhadap tenaga kerja Indonesia. Serta hubungan diplomatik yang kuat dengan negara-negara penerima TKI ini harus juga diperkuat, sehingga setiap masalah terhadap TKI ini dapat diselesaikan dengan bener-benar serta tidak ada masalah dengan hubungan bilateral antar dua negara.Jadi, pada dasarnya permasalahan terhadap TKI ini merupakan masalah bersama, baik itu dari masyarakat ataupun dari pemerintah harus bersama-sama kerja sama dan sama-sama kerja dalam kemenanggulangi masalah ini, supaya kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik lagi. Dan juga diharapkan pemerintahan yang baru ini bisa lebih serius engamati masalah TKI ini.

Mata Pencarian Penduduk Mata Pencarian “Primer” sepeti agrikultur, perkebunan, dan perikanan merupakan mata pencarian utama pada tahun 1960-an tetapi waktu ke waktu terus berkurang sehingga pada saat ini merupakan mata pencarian yang paling tidak popular. Mata Pencarian “Sekunder” sepeti perkilangan pada awalnya kurang digemari penduduk tetapi pada tahun 1990 sektor ini meningkat. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya jumlah pekerja di sector ini menurun sedikit demi sedikit. Mata Pencarian “Tertiary” seperti perkhidmatan pada awalnya cukup banyak pekerjanya. Sampai saat ini, sektor ini lah yang paling banyak dipenuhi oleh pekerja-pekerja Korea .Salah satu poin penting Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA) Jepang-Indonesia adalah dibukanya akses pasar kerja Jepang bagi tenaga- tenaga kerja Indonesia yang semiterampil dan berketerampilan rendah (unskilled). Benarkah ditandatanganinya EPA membuka peluang terjadinya migrasi tenaga kerja Indonesia yang sulit mendapatkan pekerjaan di sini untuk mengisi peluang kerja di Jepang, dalam jumlah besar? Tampaknya tidak segampang itu. Untuk bisa masuk ke pasar Jepang—meskipun sudah ada kesepakatan EPA—tenaga kerja Indonesia dan negara lain (seperti diungkapkan beberapa pejabat Jepang dalam berbagai kesempatan) tetap harus memenuhi akreditasi dan sertifikasi yang berlaku Jepang, tak cukup dengan sertifikasi negara asal. Dan yang jelas, mereka juga harus bisa berbahasa Jepang.

Selama ini, Jepang hanya membuka pintu untuk tenaga profesional dan berketerampilan tinggi. Baru kali ini Jepang lebih terbuka menyangkut impor tenaga kerja kurang terampil dan semiterampil—atas desakan Kadin Jepang atau Keidanren—kendati di dalam negeri sendiri masih terjadi kontroversi. Jumlah pekerja asing yang dibutuhkan Jepang selama kurun 1995-2050 untuk mengatasi krisis tenaga kerja—akibat terus menurunnya tingkat kelahiran dan terus meningkatnya proporsi penduduk usia lanjut dalam 40 tahun terakhir—diperkirakan mencapai 33,5 juta orang. Jepang juga mengalami kelangkaan tenaga kerja di sektor atau jenis pekerjaan tertentu, terutama pekerjaan kasar, kotor, dan berbahaya, karena generasi muda Jepang cenderung menghindari pekerjaan seperti ini. Dirjen Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans I Gusti Made Arka mengatakan, EPA Jepang-Indonesia merupakan tantangan sekaligus peluang untuk penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Jepang.

Tidak ada komentar: